Kenali GERD Sebagai Gangguan Pencernaan Pada Lambung
Foto: FK UI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana konten atau isi lambung mengalir kembali ke esofagus, kemudian menyebabkan gejala yang mengganggu seperti mulas dan regurgitasi asam. GERD dapat berlangsung secara kronis, menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien yang cukup parah, dan dikaitkan dengan beban ekonomi. GERD dapat juga berkembang dan menyebabkan komplikasi seperti striktur, barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. GERD sebagai masalah kesehatan utama di sebagian besar negara. Umumnya, GERD ditandai dengan nyeri ulu hati yang disertai sensasi hangat di bagian bawahnya atau rasa terbakar yang naik dari perut dan dapat menjalar ke leher. Kondisi ini diperburuk oleh aktivitas yang menyebabkan refluks, seperti posisi berbaring, membungkuk, makan makanan berlemak tinggi. Gejala lainnya adalah hipersalivasi dan sendawa. Gejala alarm yang mungkin mengindikasikan komplikasi antara lain nyeri dan kesulitan menelan, perdarahan, dan penurunan berat badan.
Penyebab GERD adalah melemasnya otot pembatas antara kerongkongan dan lambung. Hal ini membuat asam lambung bisa naik ke kerongkongan sehingga membuat iritasi lapisan dinding kerongkongannya. Berikut gejala GERD yang sering muncul : Mual, Nyeri dada, rasa panas di dada, karies gigu, sulit menelan, batuk kronis, sakit tenggorokan, bau mulut, makanan kembali ke mulut dari kerongkongan.
Faktor Risiko
Foto : Mandaya hospital
Wanita diketahui lebih berisiko mengalami GERD. Selain itu, faktor risiko lain terjadinya refluks gastroesofagus antara lain obesitas, usia lebih dari 40 tahun, kehamilan, merokok, diabetes, asma, dan riwayat keluarga dengan GERD. Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofagus, seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofagus, dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu kerja otot sfingter esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus.
Foto : Mandaya hospital
Penatalaksanaan GERD dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan terapi obat Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
Modifksi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup seperti mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi 12 sekresi asam.
Terapi Obat-obatan
Foto : Hello Sehat
1. Antasida
Antasida adalah obat yang bisa diberikan pada pasien GERD dengan gejala ringan hingga sedang. Obat ini dapat diberikan dengan resep ataupun tanpa resep dokter. Antasida bekerja dengan menetralkan asam lambung, sehingga dapat berefek pada peningkatan tekanan lower esophageal sphincter (LES). Efek samping umum yang mungkin terjadi pada pasien pengguna antasida adalah konstipasi atau diare. Hal ini bergantung pada komposisi alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida dalam obat.
2. Antagonis Reseptor H2
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini yaitu simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin. Obat ini beraksi menurunkan jumlah asam lambung dengan berikatan secara reversibel pada reseptor H2 di sel gastrik parietal. Adanya interaksi ini menghambat terbentuknya ikatan histamin dengan reseptor H2, sehingga gastrin tidak dihasilkan. Obat-obat ini biasanya diberikan sebelum makan. Dibandingkan dengan antasida, obat antagonis reseptor H2 memiliki onset yang lebih lambat, namun durasi aksinya lebih lama.
3. Proton Pump Inhibitor
Golongan ini merupakan obat utama dalam pengobatan GERD. Obat PPI seperti esomeprazole, omeprazole, dan lansoprazole tersedia di apotek tanpa perlu resep dari dokter. Efek samping paling umum dari PPI adalah pusing, diare, konstipasi, dan nyeri abdomen. Untuk pengobatan sendiri, jika gejala tidak membaik setelah dua minggu penggunaan, maka pasien disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter.
sumber : Pharmakoterapi Hand Book, Joseph T. DiPiro dan Kemenkes 2020